Serangan Budog pada pucuk tanaman NilamBudog, yang merupakan istilah dalam bahasa Aceh untuk Synchytrium pogostemonis (Sukamto, 2009), sebuah penyakit yang sering menyerang tanaman nilam. Budog menyebabkan kutil pada daun, batang dan tangkai yang bengkak dan menebal; kemerahan-ungu, daun terlihat berkerut dan tebal dengan warna merah keunguan (Sukamto, 2009). Sayangnya, penelitian-penelitian tentang penyakit budog belum begitu banyak didokumentasikan sehingga belum banyak ditemukan data dan analisis pembanding. Petani nilam di Aceh Selatan saat ini telah mencatat budog di bidang mereka sejak 1980-an (Parande, 2011).
Kehadiran budog telah meningkat dalam 10 tahun terakhir (Soleh, 2011), yang bersamaan dengan terjadinya “demam nilam” di rentang tahun 1997-1998 (Caritas Republik Ceko, 2011) di mana lonjakan produksi nilam akan membuka kesempatan bagi budog untuk akan menyebar ke berbagai lahan baru. Ini juga kebiasaan yang umum di Sumatera bagi petani untuk terus menanam dan panen nilam budog terinfeksi, sebagai tanaman masih memproduksi minyak lebih rendah meskipun kuantitas dan kualitas (Sagala, 2009). Budog awalnya terisolasi ke Sumatera, tetapi sekarang ditemukan di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa dimana budidaya nilam telah menyebar (Sukamto, 2009).
PENGARUH PADA NILAM
Efek Fisik
Serangan Budog pada Batang tanaman nilamGejala serangan awal dapat dilihat sedini mungkin baik pada persemaian maupun di lapang, dengan ditandai adanya benjolan-benjolan kecil pada permukaan atas dan bawah daun, serta batang. Budok menyebabkan kutil mucul pada daun, batang maupun tunasnya (nuryani, 2006). Gejala pertama dari budog biasanya adalah tumbuhnya “kutil” pada tunas baru yang kemudian meluas ke bagian batang utama yang memiliki struktur sel yang lebih keras. Pada serangan lanjut, akan menghambat pertumbuhan vegetatif sehingga rumpun tanaman tidak bertambah besar, permukaan batang menebal, ruas batang memendek, pada ketiak cabang tumbuh tunas-tunas berdaun keriput. Rumpun tanaman yang terserang pertumbuhannya terhenti, bahkan kanopinya cenderung mengecil. Tanda dan gejala lainnya adalah batangnya menjadi kerdil (Wahyuno, Pengelolaan Perbenihan Nilam Untuk Mencegah Penyebaran Budog, 2010). Diagnosisi dini sering kali sulit dilakukan karena umumnya gejala-gejala (kutil dan jaringan mati) akan nampak jelas setelah 4 minggu terjangkit.
Efek Ekonomi
Belum banyak studi formal tentang penurunan kualitas minyak nilam akibat serangan penyakit budog pada tanaman nilam. Salah satu hasil studi yang akan segera dipublikasi oleh salah satu instansi pemerintah, Balittro, menerangkan bahwa tidak ditemukannya pengaruh kualitas minyak nilam akibat budog. (Wahyuno, Peneliti, 2010) Namun, dari cerita dari mulut ke mulut yang beredar di kalangan petani mengatakan bahwa pihak pembeli lokal tidak akan membeli minyak nilam yang terinfeksi budog, karena mereka dapat melihat adanya perubahan dalam minyak yang dihasilkan (Soleh, 2011), khususnya pada bau minyak (Cakra, 2011), yang mereka katakan berbau tidak sedap atau “bau apek”. Pada praktek-praktek yang telah sebelumnya dilakukan petani, mereka biasanya mencampur sejumlah minyak dari berbagai level kualitas untuk mendapatkan minyak yang lebih baik untuk dijual ke pedagang pengumpul.
Dengan praktek pencampuran ini bau apek yang dihasilkan oleh nilam yang terkena budog dapat ditutupi. Namun, sejalan dengan proyek Caritas yang memiliki target untuk menjual minyak nilam berkualitas tinggi kepada para pembeli di tingkat internasional maka hal ini dapat menjadi isu yang penting. Ada pendapat umum yang beredar di kalangan petani bahwa nilam yang kerdil dan cacat akibat budog dapat menghasilkan hasil timbangan daun (kg) yang lebih rendah, dengan asumsi bahwa petani melakukan penyulingan terhadap nilam yang terinfeksi, bukan membuangnya. Tergantung dari keparahan infeksinya, maka lebih dari 50% hasil panen bisa hilang (Soleh, 2011), meskipun harus dicatat bahwa jumlah minyak yang sama akan dihasilkan per kg daunnya.
PENANGGULANGAN BUDOG
Meskipun secara umum penyebab dan penanggulangan terhadap budog masih belum sepenuhnya disepakati atau dipahami, ada berbagai rekomendasi mengenai cara manajemen terhadap serangan budog. Dari berbagai literatur dan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, secara umum rekomendasi yang diberikan dalam penanggulangan budog adalah penggunaan bibit nilam yang bersih dan sehat sebagai cara terbaik untuk mencegah kemunculan dan penyebaran budog serta penggunaan lahan yang belum pernah terkontaminasi oleh penyakit budog. (Sukamto, 2009). Rekomendasi lainnya adalah penggunaan insektisida untuk mencegah serangga yang dapat membawa dan menyebarkan (host) budog (Hidayat & Sutrisno, 2006). Untuk tanah yang sebelumnya telah terkontaminasi dengan budog, ada sejumlah rekomendasi khusus pada penggunaan fungisida terutama dari Balittro. Ketika melakukan perawatan tanah dengan fungisida, tempat 5 gram fungisida per lubang tanaman bersama dengan pupuk selama penanaman. Jika pada saat ini tanaman nilam telah terkontaminasi dengan budog, maka direkomendasikan untuk mencabut dan membakar tanaman yang telah terinfeksi dan “obati” tanah yang terinfeksi dengan fungisida sebelum spora dapat menjadi aktif kembali. Sebuah Perusahaan swasta, Indarro, hanya merekomendasikan penerapan fungisida, yang mereka telah mereka rancang sendiri disebut Fudoc, jika nilam masih dalam waktu satu bulan panen, jika tidak, maka hal tersebut tidak efektif. Penggunaan fungisida tentunya tidak mempengaruhi budog aktif dan relatif terjangkau.