NILAM ACEH


Nilam Aceh 
Nama 'patchouli' berasal dari bahasa Tamil pacchilai ataupaculli yang artinya daun hijau. Namun, tanaman ini dikenal dengan berbagai nama yang berbeda di bahasa lokal yang berbeda. Di Indonesia, orang lebih sering menyebutnya nilam (di Sumatera) atau dilem wangi (di Jawa), nama-nama yang diperkenalkan selama zaman kolonial Belanda. Penyulingan nilam berasal dari British Malaya selama pertengahan akhir abad ke19. Pusat penyulingan yang paling penting pada masa itu adalah di pulau Penang dan Straits Settlements di Singapore . Setelah panen, daun nilam diekspor ke Eropa dan diproses di pabrik penyulingan modern, tapi bagian proses penyulingan terbesar dilakukan oleh penyuling di Penang dan Singapura.

Pada pergantian abad, fokus budidaya di British Malaya berganti ke pohon karet, membiarkan penyuling nilam tanpa pasokan daun nilam kering yang cukup. Oleh karena itu, para penyuling mengalihkan perhatian mereka ke pemasok yang ada di Sumatera. Budidaya nilam di Sumatera dan Aceh khususnya diintensifkan dan daun nilam kering itu diekspor ke penyuling di Singapore, Penang dan Wellesley. Akan tetapi, pembudidaya nilam di Aceh mulai menghadapi masalah ketika harga karet menurun tajam pada tahun 1919 dan pengusaha perkebunan di British Malay memperbaharui energy mereka dengan berbudidaya nilam. Sesudah itu, ekspor daun nilam Aceh menurun dan menyebabkan pengusaha perkebunan mengalami kelebihan supply daun nilam kering . Untuk memecahkan masalah ini, diputuskan untuk menyuling daun nilam di Sumatera dan ini menandakan permulaan industri nilam di daerah tersebut.

Industri ini berkembang dan pada pertengahan abad ke-20 Sumatera menjadi pemasok minyak nilam terbesar di dunia dengan Aceh sebagai pusat pembudidayaannya. Sebagian kecil minyak diekspor ke Singapore, Penang dan Wellesley melalui pelabuhan sepanjang pantai Aceh, tapi sebagian besar, minyak tersebut diangkut oleh pembeli ke Jawa. Di Jawa, minyak nilam dari Sumatera diekspor bersama-sama dengan sebagian kecil minyak dari Jawa ke luar negeri.

nilam aceh 2Industri nilam di Aceh menurun selama Perang Dunia II dan setelah masa perang ketika perhatian beralih ke area lainnya. Akan tetapi, setelah Krisis Ekonomi Asia tahun 1997, nilai minyak nilam dalam dolar Amerika meningkat pesat dan rupiah Indonesia mengalami devaluasi. Dua peristiwa ini 107 menyebabkan peningkatan hebat pada harga lokal . Budidaya nilam menjadi begitu menguntungkan sehingga orang menunjuk masa ini sebagai masa 108 'demam nilam'. Produksi nilam mengalami kemacetan, tapi kembali lagi ke level sebelumnya di akhir tahun 1998 persis pada saat petani siap untuk panen. Untuk menghindari kesalahan yang sama, harga nilam telah dimonitor oleh Dewan Atsiri Indonesia (DAI) sejak tahun 2004. Perbaharuan harga sekarang juga bisa diakses melalui website DAI.

Sejak awal abad ke 21, petani/penyuling di Jawa telah meningkatkan produksi minyak nilam mereka dan telah menggantikan posisi Aceh sebagai produsen nilam terbesar sejak tahun 2005. Sebagian pelaku bisnis nilam beranggapan bahwa produsen dari Aceh memindahkan tempat produksi mereka ke bahagian wilayah Indonesia lainnya. Akan tetapi, asumsi ini tidak didukung oleh volume produksi nilam yang relatif stabil di Aceh sejak tahun 1980an.

Kwalitas Minyak Nilam Aceh

Kwalitas minyak nilam ditentukan oleh karekteristik fisik dan kandungan kimiawi minyak. Kwalitasnya terutama diukur dengan tingkat patchoulol (alkohol nilam atau PA), yang merupakan komponen tanaman nilam yang paling tinggi. PA mengandung norpatchoulene, yang memberikan bau/aroma yang yang khas pada minyak nilam. Minyak dari nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth) di Sumatera dianggap memiliki kwalitas paling tinggi karena mengandung tingkat PA yang tinggi. Namun, tingkat PA saja tidaklah menjamin kwalitas yang bagus. Badan Standarisasi Indonesia (BSI) telah menetapkan beberapa standar kwalitas bagi minyak nilam. Pembeli international juga memiliki standar mereka sendiri. Tabel dibawah membandingkan tiga standard yang berbeda, dua dari Payan Bertrand (Perusahaan pembeli nilam dari Perancis) dan satu dari pemerintah, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO).

Kisaran nilai dan harga minyak nilam pabrikan yang ditawarkan dan dipromosikan ke pasar internasional oleh eksportir di Indonesia sebagian besar berdasarkan tingkat PA, warna dan kandungan besi, dan usia minyak nilam. Kebanyakan minyak nilam dari Indonesia yang ditawarkan di pasar memiliki level PA 30% hingga 36%. Kandungan PA yang tinggi ini karena penyulingan ditingkatkan dengan menggunakan alat pemecah. Tingkat warna minyak nilam sesuai dengan kadar besinya. Minyak nilam disuling dengan penyuling besi tradisional terkontaminasi dengan besi dan biasanya berwarna coklat. Sedangkan yang diproses dengan penyuling baja antikarat tidak mengandung kadar besi (bebas besi) dan oleh karena itu warnanya kuning terang. Minyak nilam yang kemudian diperhalus lagi di alat pemecah, yang kadar asamnya rendah, dan berusia cukup tua kadang kadang tersedia dan dipromosikan juga.

Ada beberapa sub-varietas tanaman nilam di Aceh. Yang paling utama adalah nilam Tapaktuan di Aceh Selatan, nilam Lhokseumawe (Aceh Utara), dan nilam Sidikalang (Aceh Tamiang). Mereka masing-masing memiliki karekteristik fisik dan kandungan kimiawi yang berbeda. Nilam Tapaktuan memiliki kemampuan adaptasi yag tinggi, batang berwarna hijau dengan sedikit warna ungu. Nilam Lhokseumawe juga memiliki daya adaptasi yang tinggi dan warna batang ungu. Varietas Sidikalang memiliki daya adaptasi yang tinggi dan batang ungu gelap. Tingkat PA dari varietas ini beragam: yaitu. Tapatuan (28.69-35.90%), Lhokseumawe (29.11-34.46%) dan Sidikalang (30.21-35.20%).

Varietas Lhokseumawe









Varietas Sidikalang
Varietas Tapaktuan
 

                                                   

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites